Tata Krama Dikalangan Generasi Milenial dan Peran Serta Orang Tua
Bangsa Indonesia yang telah lama dikenal dan kental dengan adat ketimuran yang sangat menjunjung tinggi toleransi, kerukunan, keramahan dan kesantunan dalam berinteraksi dengan dunia luar. Sejalan dengan cita-cita pendiri bangsa yang ada dalam Pancasila, masyarakat yang majemuk dengan berbagai macam suku, budaya bahkan agama dan kepercyaan. Namun semua dapat hidup berdampingan dengan baik dan saling menghormati antar sesama. Tak terkecuali masyarakat jawa yang senantiasa mengedepankan sopan santun yang semua tak bisa lepas dari ajaran budaya Jawa itu sendiri yang salah satunya mengajarkan untuk selalu andhap asor (rendah diri). Disamping itu ada pula unggah-ungguh (tata krama) dalam bergaul dengan siapa saja, terlebih kepada orang-orang yang dipandang lebih tua.
Namun beberapa tahun terakhir bahkan mungkin jauh sebelumnya, atau bisa jadi diakhir-akhir tahun 90-an menjelang tahun 2000 yang akrab disebut dengan era milenium dan lahirnya generasi-generasi milenial, unggah-ungguh (tata krama) khususnya uggah-ungguh basa yang membedakan bahasa antara teman seusia bagaimana, dengan yang lebih muda bagaimana, dan dengan yang lebih tua terutama dengan orang tua bagaimana. Bahasa ibu yang dulu di desa melekat dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat jawa sepertinya mulai terkikis, apalagi diperkotaan. Terlihat jelas fenomena terkikisnya unggah-ungguh basa dilingkungan masyarakat jawa, dimanapun tak terkecuali dipedesaan sekalipun. Anak - anak dalam kesehariannya sudah biasa dan dibiasakan menggunakan bahasa Indonesia dan itu bagus, namun sayangnya bahasa ibu yakni bahasa jawa dilingkungan masyarakat jawa cenderung dilupakan. Bahkan tidak sedikit anggapan bahasa jawa itu “kuno dan ndesa.” Anggapan yang justru datang dari orang-orang disekitar kita yang nota bene adalah orang jawa. Tidak salah bagi kita mendidik putra-putra kita dengan bahasa Indonesia karena itu adalah bahasa nasional walaupun bahasa Indonesia pun kita masih perlu belajar lagi, kenapa? Karena ternyata kitapun sebagai orang tua tak pandai berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa yang sering kita gunakanpun terkontaminasi dengan bahasa-bahasa “gaul” yang konon katanya mudah diterima disemua kalangan. Bagus pula memberikan pengetahuan tentang bahasa asing karena karena tidak bisa dipungkiri anak-anak kita di sekolah juga perlu bahasa asing untuk dapat menambah kompetensi, dan bergaul dengan orang-orang mancanegara bila ada kesempatan serta mengingat bahasa yang digunakan dalam penggunaan teknologi di era digital saat ini praktis menggunakan bahasa Inggris dan sebagai bahasa internasional. Namun sekali lagi sangat disayangkan keberadaan bahasa jawa sebagai bahasa ibu diabaikan.
Kembali ke unggah-ungguh basa dalam bahasa jawa, disana ada unsur menghargai dan menghormati kepada orang yang lebih tua. Satu saja kata; makan, dalam bahasa Indonesia siapapun pasti menggunakan kata makan dalam menyampaikan ke orang lain tak peduli dengan orang tua sekalipun, bahkan untuk hewan juga menggunakan kata makan. Contoh :
Adik makan kue bolu
Bapak makan nasi goreng
Kucing itu makan ikan asin
Dalam bahasa jawa beda karena ada penghormatan terhadap orang lain terutama yang dianggap lebih tua. Contoh :
Adik maem roti
Bapak dhahar sega goreng
Kucing kui mangan cecak
Dan masih banyak lainnya, jadi sangat jelas bahwa dalam budaya jawa unggah-ungguh basa sangat bermakna, maka semestinya pemerintah khususnya di Jawa Timur melalui Dinas Pendidikan dan Balai Bahasa berperan aktif menggairahkan kembali muatan lokal bahasa daerah sampai jenjang SLTA, mungkin juga perguruan tinggi prodi bahasa sastra jawa bukan hanya terbatas di UNESA, akan tetapi itu tak mudah seperti membalikkan telapak tangan. Tentu akan sangat sulit karena dijaman sekarang semua berorientasi bisnis, dan bahasa jawa tentu sepi peminat yang ujung-ujungnya tidak ada nilai bisnisnya.
Oleh karenanya, pelestarian unggah-ungguh basa sangat bergantung pada keluarga. Kalau saja semua orang tua tidak malu dan peduli serta mau mengorbankan waktunya mengajari putra-putranya bahasa jawa yang sesuai dengan unggah-ungguh basa yang benar tentu lama kelamaan akan timbul kembali generasi-generasi yang berbudi pekerti luhur yang diawali dengan “ngajeni marang wong liya luwih-luwih marang sing luwih sepuh (menghargai orang lain lebih-lebih kepada yang lebih tua.”
Dengan sesanti Sura Dira Jayaning Rat Lebur Dening Pangastuti semoga tulisan ini memberi arti, semua bisa Mulat Sarira Hangrasa Wani.
Rahayu sagung dumadi.
Penulis : Gayus Blt.
Post a Comment